JOGJAGRID.COM : Dalam sesi temu wicara "Sejarah vs Sinema: Perang Fiksi dan Fakta" di Ruang Cinema Gedung 6 Universitas Amikom, Yogyakarta, Senin, sutradara Hanung Bramantyo tidak hanya berbicara mengenai latar filosofis film terbarunya, The Hole atau Bolong, tetapi juga mengkritik keras penyederhanaan genre horor dalam industri film Indonesia.
Hanung secara tegas menyatakan bahwa dirinya sebenarnya tidak suka disebut film horor karena ia bukan pembuat film horor, seraya menambahkan bahwa yang namanya film horor itu bukan jump scare, tetapi oleh industri film di Indonesia, horor itu adalah jump scare. Ia menjelaskan bahwa horor sejati lahir dari representasi trauma sosial, merujuk pada film The Cabinet of Dr. Caligari tahun 1930-an yang merepresentasikan kondisi masyarakat Jerman pascaperang tanpa mengandalkan efek kejut.
Ia melanjutkan, esensi dari horor adalah suasana teror di dalamnya, yang mana teror itu mengancam kematian. Dalam konteks narasi sejarah, Hanung mengutip pemikiran Roland Barthes yang mengatakan bahwa fiksi adalah sistem tanda yang menyusun dunia teks, di mana yang penting bukan apakah cerita itu benar, tetapi bagaimana teks mengorganisir makna dan mempengaruhi pembaca.
Terkait pendekatannya terhadap sejarah, Hanung mengkritik pandangan yang menempatkan tokoh besar sebagai satu-satunya penggerak sejarah, dan ia lebih setuju dengan pandangan Edward Hallett Carr yang mengatakan bahwa sejarah adalah dialog antara masa kini dan masa lalu, karena sejarawan selalu menafsirkan fakta melalui perspektif zamannya, menekankan pentingnya memahami kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Advertisement
