JOGJAGRID.COM – Polemik pembangunan berbasis kampung di Kota Yogyakarta mencuat setelah Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menyoroti peniadaan kegiatan kajian kampung. Kebijakan ini dinilai sangat berisiko, mengingat program-program yang dijalankan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dikhawatirkan akan kehilangan kontekstualitasnya dan gagal mencapai sasaran yang diinginkan.
Anggota Komisi A, Marwoto Hadi, menjadi salah satu pihak yang paling vokal dalam menyampaikan keberatan ini dalam rapat kerja bersama Bagian Tata Pemerintahan (Tapem) Setda Kota Yogya, Selasa (28/10). Ia menekankan bahwa keberagaman adalah kunci Kota Yogyakarta.
"Banyak kampung yang memiliki karakteristik dan historis yang beragam. Ini jelas membutuhkan sentuhan yang beragam pula agar sesuai dengan kebutuhannya," kata Marwoto, menegaskan bahwa penyeragaman pendekatan pembangunan tidak akan efektif.
Menurut Marwoto, selama ini OPD telah memiliki banyak kegiatan berbasis kampung, mulai dari kampung tangguh bencana, kampung KB, kampung ramah anak, kampung lestari, hingga kampung hijau.
Sayangnya, kegiatan-kegiatan tersebut cenderung disamaratakan. Padahal, perbedaan struktural antar-kampung sangat nyata; ada kampung yang hanya terdiri dari satu RW, sementara yang lain merupakan gabungan beberapa RW, yang tentu saja memerlukan skema pendekatan berbeda.
Ia memperjelas bahwa esensi kajian kampung jauh melampaui sekadar peta. "Kajian kampung tidak sebatas geografis berupa peta. Tetapi harus memunculkan struktur dasar, pola sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lain," tegas Marwoto.
Kajian yang komprehensif ini penting untuk memotret kondisi setiap kampung secara utuh, menjamin program pemerintah dapat terarah dan terkonsep dengan mendasarkan pada potensi dan karakteristik unik yang ada di wilayah tersebut.
Di sisi lain, Ketua Komisi A DPRD Kota Yogyakarta, Susanto Dwi Antoro, memandang isu kajian kampung ini sebagai pembahasan penting yang harus dibangkitkan kembali. Susanto secara spesifik menyinggung potensi pengembangan 169 kampung yang telah ditetapkan melalui peraturan wali kota (perwal), terutama pada kampung-kampung dengan cakupan wilayah yang luas, yang memerlukan perhatian khusus.
Kepala Bagian Tata Pemerintahan (Tapem), Subarjilan, memberikan tanggapan yang cukup terbuka.
Ia mengakui bahwa kegiatan kajian kampung yang telah dicoret dari anggaran sebelumnya hanya membutuhkan dana yang relatif kecil. "Subarjilan mengakui bahwa kegiatan kajian kampung yang sebelumnya dicoret dari anggaran sebenarnya tidak memakan dana yang besar, yaitu hanya sekitar Rp 100 juta," demikian laporan yang diterima. Pihak Tapem menyatakan akan mempertimbangkan kembali usulan tersebut, mengingat urgensi kajian kampung yang dinilai mendesak dan esensial dalam mendukung pembangunan yang terfokus.
Komisi A berharap agar Pemkot Yogyakarta segera mengambil tindakan untuk mengaktifkan kembali kajian kampung, memastikan program pembangunan yang dijalankan benar-benar menyentuh dan sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat di setiap kampung, menghindari pemborosan anggaran akibat program yang salah sasaran.
