CAPTION : salah satu Direksi PT. GMS berinisial GSS
JOGJAGRID.COM : Kuasa hukum Anton Yuwono yang merupakan salah satu pemegang saham terbesar PT. Garuda Mitra Sejati (GMS) Imanuel Harpha Deipha telah melaporkan Direktur Utama PT. GMS berinisial SK ke Polda DIY beberapa waktu lalu.
Laporan ke Polda DIY ini dengan nomor LP/B/951/XII/2023/SPKT/POLDA DI. YOGYAKARTA.
Imanuel mengatakan PT. GMS ini merupakan sebuah perusahaan yang bergerak pada bidang perhotelan dan mall di DIY. Anton Yuwono sendiri yang merupakan salah satu pemegang saham di PT. GMS ini adalah owner salah satu bisnis kecantikan terkenal di Yogyakarta.
Imanuel menceritakan di rentang waktu 2010-2019 para pengusaha ternama di Yogyakarta menyetorkan sejumlah uang investasi untuk membeli saham di PT GMS. Namun kendati bisnis perhotelan dan mall memiliki okupansi yang baik, para pemegang saham tak mendapatkan pembagian hasil secara lancar sebagai bentuk devidenatas investasi yang dilakukan.
Dalam 10 tahun investasi, deviden hanya diberikan sebanyak 2 kali. Sisanya tidak diberikan karena dari pihak direksi PT. GMS melaporkan kondisi keuangan yang terus merugi.
"Tahun 2018, karena ada kebutuhan penambahan modal usaha, PT. GMS menawarkan 49 lembar saham kepada pemegang saham dengan harga perlembarnya Rp 1.160.000.000. Para pemegang saham termasuk Direktur Utama PT. GMS yaitu SK pun kemudian membeli saham itu," kata Imanuel dalam siaran persnya, Kamis (28/12) di Polda DIY.
"Direktur Utama PT. GMS yaitu SK mengambil 24 lembar saham. Sisanya dibeli pemegang saham lainnya. Pemegang saham lainnya membayar pembelian itu secara tunai atau menyetorkan uang. Sementara SK membayar dengan 24 lembar BG. Hanya saja dari 24 BG ini hanya 1 BG yang berhasil dicairkan sisanya 23 BG tidak bisa dicairkan dan proses pembayarannya berlarut-larut sampai 2019," sambung Imanuel.
Imanuel menceritakan usai pelunasan pembelian 24 lembar saham itu tak bisa diselesaikan, pihak Direksi PT. GMS memberikan perlakuan khusus pada SK yaitu pelunasan bisa dilakukan secara tukar guling aset.
Saat itu, lanjut Imanuel, pembayaran 24 lembar saham itu diubah dari harusnya dibayarkan tunai menjadi pembayarannya dengan tanah yang berada di Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Yogyakarta yang di atas tanah itu ada bangunan hotel.
"Saat itu Komisaris dan pemegang saham PT. GMS lainnya keberatan dengan pembayaran 24 lembar saham itu memakai mekanisme tukar guling dengan aset tanah dan hotel. Namun direksi PT. GMS yaitu GSS dan B tetap melakukan tukar guling dan melakukan penandatanganan Perjanjian Jual Beli Bertahap di bawah tangan," urai Imanuel.
"Perjanjian Jual Beli Bertahap di bawah tangan ini cacat hukum dan melawan hukum. Selain itu ternyata tanah dan hotel yang dijadikan tukar guling pembelian hotel itu statusnya sedang dijaminkan SK ke salah satu bank," imbuh Imanuel.
Imanuel menjabarkan dalam Perjanjian Jual Beli Bertahap itu Direksi PT. GMS yaitu SK, GSS dan B menyepakati jika harga aset untuk tukar guling itu seharga Rp 51 miliar. Dari Rp 51 miliar ini, imbuh Imanuel, Direksi PT. GMS menjadikan Rp 26, 1 miliar sebagai ganti tukar guling 24 lembar saham karena BG yang disetorkan SK tidak dapat dicairkan.
Sedangkan sisa dari tukar guling ini masih Rp 24, 8 miliar ini menjadi beban utang PT. GMS yang harus dibayarkan ke PT. MPM dimana SK menjadi komisaris di sana.
"Direksi Perseroan justru melaporkan kepada para pemegang saham PT GMS terdapat biaya perbankan berupa angsuran pokok dan bunga di salah satu bank karena status tanah tukar guling itu dijaminkan oleh SK. Padahal pada faktanya debitur bank itu hingga saat ini masih tercatat atas nama PT. MPM dan bukan PT. GMS," terang Imanuel.
"Perjanjian Jual Beli Bertahap yang lahir dari proses “akal-akalan” dengan tujuan untuk melunasi pembayaran 24 lembar saham ini ternyata tak mendapatkan persetujuan tertulis dari Kreditur yaitu bank tempat aset tukar guling dijaminkan," lanjut Imanuel.
Imanuel menambahkan kondisi ini PT GMS yang seharusnya mendapatkan tambahan modal untuk usaha justru menjadikannya harus menanggung beban utang karena permainan Direksi PT. GMS.
"Untuk itu pemegang saham PT. GMS melaporkan Direktur Utama PT. GMS SK dan Direksi PT. GMS lainnya yaitu GSS ke Polda DIY," terang Imanuel.
Sementara itu salah satu Direksi PT. GMS berinisial GSS mengatakan polemik permasalahan tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. GSS menerangkan saat polemik itu terjadi dirinya menjabat sebagai Direktur Umum PT. GMS.
"Waktu pembelian (tukar guling) itu kan awalnya perusahaan meluncurkan 49 lembar saham yang tiap lembarnya seharga Rp 1.160.000.000,00. Saat itu SK sebagai Direktur Utama membeli 24 lembar saham. Sisanya dibeli pemegang saham lainnya tapi saya lupa siapa saja yang beli dan beli berapa," terang GSS kepada awak media Jumat (28/12).
GSS menceritakan saat itu SK membayar saham dengan 24 BG namun tidak bisa dicairkan akhirnya menukar pembelian itu dengan hotel di Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Yogyakarta.
"Jadikan gagal bayar kemudian tukar guling hotel itu. Hotel itu sudah dibeli SK sebelumnya. Waktu tukar guling itu SK bilang harga awalnya Rp 45 miliar tapi sama renovasi dan lain-lain habisnya Rp 6 miliar. Jadi totalnya Rp 51 miliar," terang GSS.
GSS menjabarkan dalam proses tukar guling hotel dengan 24 lembar saham itu justru membuat PT. GMS harus berutang karena hotel itu ternyata dijaminkan di salah satu bank.
GSS membeberkan dia memiliki bukti dari salah satu narasumber yang dipercaya yang tidak dapat disebutkan, bahwa harga sebenarnya dari hotel itu hanya Rp 21 miliar namun disebut SK ke pemegang saham dan dirinya hotel itu memiliki harga Rp 45 miliar.
"Jadi sebenarnya ada permainan itu ternyata dan saya tidak tahu saat saya menandatangani Perjanjian Beli Beli itu. Saya sama sekali tidak mendapatkan sepersenpun dari proses jual beli itu," ucap GSS.
"Harusnya kan SK fair ke saya. Sudah saya bantu. Ternyata harganya Rp 21 miliar dia bilang Rp 45 miliar. Ini kan taruhannya nama baik saya. Padahal selama ini yang membawa masuk orang-orang sebagai owner (pemegang saham) inikan saya semua. Saya kan seolah-olah dianggap bersekongkol padahal saya sama sekali tidak tahu dan tak mendapatkan apapun dari jual beli itu," lanjut GSS.
GSS menjabarkan hingga saat ini hotel yang seharusnya menjadi aset bagi PT. GMS ini belum bisa disebut aset karena statusnya masih atasnama SK dan masih jadi tanggungan utang di salah satu bank.
"Permasalahan lain. Usai aset hotel itu diserahkan ke PT. GMS sebagai tukar guling saham ternyata SK dari keterangan bank menggunakannya untuk mengajukan pinjaman lagi sebesar Rp 14 miliar. Jadi total pinjaman SK di bank itu Rp 21 miliar ditambah Rp 14 miliar," imbuh GSS.