Soroti Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak, DPD MKGR DIY Desak  RUU TPKS Disahkan
Soroti Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak, DPD MKGR DIY Desak  RUU TPKS Disahkan

Soroti Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak, DPD MKGR DIY Desak RUU TPKS Disahkan





JOGJAGRID.COM  : Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY pada tahun 2020 mengalami kenaikan “luar biasa” dibandingkan tahun 2019. 

Korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY tahun 2019 berjumlah 198 kasus meningkat menjadi 1.096 kasus atau terjadi kenaikan sebesar 553% (Data Siga, DP3AP2 DIY, tahun 2020).

Dari jumlah kasus tersebut kekerasan terbanyak terjadi pada kekerasan psikis sebesar 372 kasus (33,9%), kekerasan fisik sebesar 325 kasus (29,6%), dan kekerasan seksual sebesar 319 kasus (29,1%). 

Dari lokasi kekerasan terjadi, terbanyak terjadi di rumah sebesar 836 kasus (76,2%), sedangkan kekerasan di tempat kerja berjumlah 30 kasus (2,7%) dan lain-lain sebanyak 230 kasus (20,98%).
 
"Beberapa data menunjukkan bahwa perempuan mengalami kerentanan yang lebih dibandingkan laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena kekerasan terhadap perempuan terjadi karena budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai “kelompok kelas kedua”, sehingga mengakibatkan adanya “relasi kuasa” dalam memperoleh akses, partisipasi, kesempatan dan manfaat," kata Ketua Perempuan Ormas MKGR DIY Novia Rukmi Rabu (8/12).
 
Kasus kekerasan yang juga marak saat ini adalah kasus kekerasan seksual di kampus. 

"Kasus kekerasan seksual di kampus biasanya menjadi kasus “mengendap” yang menjadikan “korban” sebagai kelompok yang paling dirugikan," tutur Novia.

Merujuk data Kemendikbud Ristek, telah melakukan survei mandiri terkait kekerasan seksual di tahun 2020. Hasilnya menunjukkan dari dosen yang disurvei, 77% menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% memilih untuk tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka ketahui, karena adanya stigmatisasi negatif yang disematkan masyarakat kepada penyintas.
 
"Kasus-kasus kekerasan seksual telah memberikan dampak luar biasa terhadap korban baik fisik, psikis, mental yang akan menjadi “trauma” seumur hidup," tegas Novia.

Bahkan kasus Novia Widyasari baru-baru ini, mahasiswa yang bunuh diri karena mengalami depresi setelah dipaksa untuk menggugurkan kandungan, memperlihatkan bahwa relasi kuasa menyebabkan posisi perempuan menjadi pihak yang tidak berdaya dan dirugikan. 

"Kasus Novia merupakan satu dari ratusan ribu kasus kekerasan bak “fenomena gunung es”. Kekerasan seksual, menjadikan korban menjadi “korban ganda”, karena ada stigmatisasi dari Aparat Penegak Hukum (APH) maupun masyarakat," ungkap Novia.

Sehingga sudah selayaknya penanganan kasus-kasus kekerasan seksual lebih berperspektif terhadap korban.
 
Hingga hari ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kemudian berubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) belum juga disahkan, padahal RUU ini sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak Tahun 2012. 

"Jika kita berkaca pada banyaknya kasus kekerasan seksual yang relatif meningkat pada setiap tahunnya harusnya RUU ini segera disahkan, tetapi pada kenyataannya yang terjadi di dalam proses pengesahannya seringkali menemui hambatan-hambatan, biasanya hambatan itu berupa adanya perbedaan ideologi atau paham berpikir antara anggota DPR menyulitkan pengesahan RUU tersebut," kata Novia.

Selain hal itu RUU TPKS  ini juga kerap dijadikan alat untuk elektabilitas partai politik, salah satunya dengan cara melontarkan isu-isu yang tidak benar terkait dengan substansi RUU TPKS untuk mendapatkan simpati dari masyarakat.
 
"Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual. Setiap perempuan, nenek kita, ibu kita, anak perempuan kita, kakak dan adik perempuan kita, teman perempuan kita, tetangga perempuan kita adalah kelompok yang rentan mendapatkan kekerasan seksual," papar Novia.

Dalam rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang jatuh pada 25 November – 10 Desember, Perempuan Ormas MKGR DIY mendukung untuk segera disyahkannya RUU TPKS menjadi UU TPKS.

"Karena sejatinya masalah kekerasan seksual terhadap perempuan adalah beyond of politics, karena menyangkut hak perempuan, hak warga negara yang harus dilindungi, karena separuh lebih populasi Indonesia adalah perempuan," tutup Novia. (Dho/Ian)
 
Advertisement banner

Baca juga:

Admin
Silakan ikuti kami di media sosial berikut.