Buruh Di Yogya Gelar Aksi Bagi Takjil dan Serukan 5 Tuntutan Saat May Day
Buruh Di Yogya Gelar Aksi Bagi Takjil dan Serukan 5 Tuntutan Saat May Day

Buruh Di Yogya Gelar Aksi Bagi Takjil dan Serukan 5 Tuntutan Saat May Day




JOGJAGRID.COM  : Puluhan buruh yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) turun ke jalan dalam peringatan Hari Buruh Sedunia atau May Day Sabtu 1 Mei 2021.

Pantauan di lapangan para buruh itu mulai turun sejak pukul 15.30 WIB dan berkumpul di Kantor DPRD DIY
Jalan Malioboro. 

Ada dua agenda utama yang dilakukan buruh yang terhimpun dalam DPD KSPSI DIY itu. 

Aksi pertama para buruh menggelar aksi simpatik membagikan takjil di sepanjang Jalan Malioboro dan aksi kedua mereka menemui pimpinan DPRD DIY untuk menyampaikan aspirasinya.

Para buruh DPD KSPSI DIY yang juga bagian dari Forum Komunikasi Buruh Bersatu DIY-Jateng (FKBB DIY JATENG) itu menyoroti kegagalan pemerintah dalam melindungi kaum buruh dan rakyatnya sepanjang setahun lebih pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. 

"Sikap pemerintah yang meremehkan di awal-awal pandemi, membuat krisis kesehatan terburuk dalam seratus tahun terakhir merembet ke segala sendi kehidupan, " kata Waljid Budi Lestarianto Koordinator Umum Aksi Hari Buruh di Yogyakarta itu.

Wajid mengatakan pemerintah tidak memilik skala prioritas yang jelas, bimbang, antara fokus menanggulangi pandemi atau menjaga ekonomi tetap tumbuh.
 
Sikap meremehkan pemerintah itu pada akhirnya membuat Indonesia tidak mendapatkan keduanya, sistem kesehatan kolaps dan ekonomi tumbuh minus. 

"Ujung-ujungnya pemerintah mengambil jalan pintas, menggencet buruh dan rakyat lainnya, dengan segala renik kebijakan yang merugikan," ujar Waljid.

Waljid membeberkan ada sebelas kebijakan dan peraturan yang menyengsarakan kelas buruh terbit sepanjang satu tahun pandemi. 

Empat berupa surat edaran menteri, satu undang-undang, satu peraturan menteri, satu peraturan presiden, dan empat peraturan pemerintah.

Ia mengatakan sepanjang setahun ini pemotongan upah dengan dalih pandemi dilegitimasi lewat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19. 

"Dalam aturan itu, tidak ada batasan maksimal pemotongan upah dan tidak ada tolak ukur yang jelas serta ketat mengenai syarat ketidakmampuan keuangan perusahaan sehingga sangat
merugikan kelas buruh," katanya.

Kewajiban pengusaha membayar Tunjangan Hari Raya (THR) juga dilemahkan melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 yang membolehkan adanya pembayaran THR secara dicicil pada tahun lalu. 

Menjelang Idul Fitri 2021, Kementerian Ketenagakerjaan kembali mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/6/HK.04/IV/2021 yang masih bermasalah karena tidak memberikan tolak ukur ketidakmampuan keuangan perusahaan.

Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga mengintervensi kewenangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/11/HK.04/X/2020 yang meniadakan kenaikan upah minimum dengan dalih pandemi. 

Meski begitu, lima provinsi mengabaikan surat edaran itu dan tetap menaikan upah minimum provinsinya yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Pemerintah dan DPR juga bertanggung jawab atas terjadinya gelombang PHK massal selama pandemi karena omnibus law UU Cipta Kerja telah mempermudah terjadinya pemecatan dan menggerus hak dasar buruh. Setidaknya telah terbit empat peraturan. 

"Peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja yang merugikan kepentingan kelas buruh yaitu terkait penggunaan tenaga kerja asing, perpanjangan periode Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan," kata dia.

Serentetan aturan bermasalah ini tidak dapat dilepas dari kegagalan skema pembangunan nasional yang bergantung pada investasi.

Ketika terjadi guncangan pada sistem kapitalisme global seperti hari ini maka rakyat yang dijadikan tumbal dengan dalih penyelamatan ekonomi nasional. 

"Rakyat pun kehilangan kedaulatan atas akses sumber ekonomi yang selama ini sebenarnya menopang perekonomian negara lewat konsumsi rumah tangganya," katanya.

Di Yogyakarta, dampak pandemi tidak kalah merusaknya, perekonomian utamanya yang ditopang oleh sektor pariwisata dan pendidikan, harus terimbas sangat dalam. Banyak buruh perhotelan dan tempat-tempat wisata yang di PHK dan dirumahkan. 

Kalangan buruh di DIY itu pun menyerukan 5 tuntutan mereka bertepatan dengan peringatan May Day ini.

Pertama, agar pemerintah mencabut UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya, memberikan hak dasar buruh, memberikan jaminan perlindungan atas hak bekerja serta penghapusan sistem outsourcing. 

Kedua, mendesak THR dibayarkan tepat waktu dan tanpa dicicil
Ketiga pemerintah segera menanggulangi pandemi Covid-19 dengan mempercepat vaksinasi. 
Keempat, usut korupsi bantuan sosial dan fokus atasi penularan virus.

Kelima terbitkan Perda Ketenagakerjaan DIY. (Fas/Jun)
Advertisement banner

Baca juga:

Admin
Silakan ikuti kami di media sosial berikut.