Polemik PLTN di Indonesia, Eks Menteri ESDM : Perlu Kajian Ulang 
Polemik PLTN di Indonesia, Eks Menteri ESDM : Perlu Kajian Ulang 

Polemik PLTN di Indonesia, Eks Menteri ESDM : Perlu Kajian Ulang 

JOGJAGRID.COM : Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro telah menyatakan opsi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tetap dipersiapkan untuk mengantisipasi melonjaknya kebutuhan listrik masa depan.

Walaupun pendirian PLTN itu akan menjadi opsi terakhir menghasilkan energi listrik.

Menanggapi polemic seputar pembangunan PLTN ini, Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro tak menampik jika Indonesia dituntut menghadirkan dan menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) demi mengatasi kian menipisnya energi fosil berwujud minyak dan gas.

"Minyak dan gas akan habis dipakai, kalau ada penelitian seharusnya dilakukan untuk mengembangkan Migas Non Konvensional (MNK)," ujar Purnomo di sela menghadiri forum bertajuk Penguatan Ketahanan Energi untuk Mendukung Ketahanan Nasional di kampus UPN ‘Veteran’ Yogyakarta Kamis 28 November 2019 lalu.

Mantan menteri pertahanan itu menuturkan menciptakan energi baru terbarukan salah satu yang disebut bisa jadi opsi bersumber dari nuklir.

Purnomo mengatakan untuk usulan pengembangan pendirian PLTN sempat digagas sekitar 15 tahun silam pemerintah dengan mengambil titik lokasi di kawasan Gunung Muria.

Pertimbangan saat itu karena melihat nuklir sebagai bahan pembangkit listrik yang bisa mengejar kebutuhan nasional. Namun saat itu masih mendapat penolakan masyarakat sehingga rencana itu mandeg.

Purnomo menuturkan, jika pemerintahan Joko Widodo berniat mengembangkan nuklir sebagai sumber energi musti melihat prinsip kemandirian energi yang bisasa disebut 4A1S.

Yakni soal availability atau kemampuan memberikan jaminan ketersediaan energi, accessibility yang bicara soal akses terhadap energi, affordability  yang memberikan harga energi yang terjangkau, acceptability soal penerimaan masyarakat pada jenis energi tertentu, dan sustainability tentang penggunaan energi secara berkelanjutan.

“Masalah terbesar pengembangan nuklir itu letaknya di faktor acceptability atau penerimaan masyarakat ini seperti apa. Kalau acceptabilitynya diterima, baru bisa jalan,” ujar Purnomo.

Jika pemerintahan Jokowi hendak melanjutkan rencana pengembangan nuklir sebagai pembangkit listrik itu maka ia menyarankan untuk melakukan kajian dan survey ulang. Bagaimana penerimaan masyarakat untuk itu. Tak bisa langsung membuatnya.

“Saya nggak tahu posisi penerimaan masyarakat itu sekarang seperti apa pada nuklir,” ujarnya.

Purnomo pun meminta pemerintah jika memang melakukan kajian atau survey ulang tak hanya berfokus pada satu titik di Gunung Muria. Tapi bisa dilakukan pada Kalimantan Barat serta Bangka Belitung yang dikabarkan bersedia menjadi daerah pertama yang memiliki PLTN di Indonesia.

“Tak hanya survey, tapi pemerintah juga mengkaji kesiapan teknologi dan bahan bakunya,” ujarnya.

Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia Rinaldy Dalimy dalam forum itu menuturkan meski rencana pengembangan nuklir sudah tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional,  namun PLTN menurutnya tetap akan menjadi pertimbangan dan pilihan terakhir.

“Ada resiko dalam penerapan teknologi nuklir baik untuk persenjataan, pertanian, kesehatan maupun kelistrikan. Senjata berisiko ledakan, pertanian dan kesehatan berisiko pada limbah, energi listrik berisiko kecelakaan,” ujarnya.

Selain itu, keberadaan Indonesia yang berada di area ‘the ring of fire’ serta daerah rawan gempa menghadirkan ancaman bencana alam yang tidak bisa diprediksi dan membahayakan instalasi.

Tidak hanya itu penggunaan teknologi asing serta pembelian uranium akan meningkatkan subsidi listrik dan ketergantungan dengan negara lain.

“Saya memastikan dalam 100 tahun kedepan, PLTN belum akan hadir di Indonesia,” ujarnya.

Dalimy memaparkan Indonesia memiliki beragam jenis energi terbarukan yang bisa digunakan sebagai sumber pembangkit listrik. Mulai tenaga angin yang sudah dimanfaatkan di Sulawesi Selatan, kemudian ada tenaga ombak, hydrogen, tenaga air yang dielektrolisa, dan konversi energi termal lautan (OTEC) yang dimana Indonesia memiliki potensi besar ketiga di dunia.

“Persoalan utamanya untuk mengelola energi itu dibutuhkan dana besar,” ujarnya. (Hendra)
Advertisement banner

Baca juga:

Admin
Silakan ikuti kami di media sosial berikut.